Judul: KALAU MAU KAYA NGAPAIN SEKOLAH EDISI KHUSUS
Penulis: Edy Zaqeus
Penerbit: Gradien Books
Cetakan I: Mei 2007
Ukuran: 14×21 cm
Halaman: 216 ISBN (13): 978-979-3574-71-4
Harga: Rp36.000
Kata Pengantar Edisi Khusus
Seperti sudah saya perkirakan sebelumnya, buku ini akan memancing pro dan kontra. Dan, semua itu semata-mata disebabkan oleh judul buku ini yang—menurut sejumlah pembaca—dianggap ‘sangat provokatif’ dan ‘menyesatkan’. Bahkan, Bob Sadino kala itu sempat mengingatkan saya melalui telepon, “Kamu berani sekali memakai judul ini? Kamu siap ‘digebukin’ orang banyak ha-ha-ha…. Tapi, bagus kalau kamu berani. Orang tua harus dibangunkan dengan cara seperti ini.”
Namun, dari pengamatan saya, anggapan bahwa buku ini provokatif dan menyesatkan biasanya datang dari calon pembaca yang baru membaca judulnya saja, dan belum membaca isi buku secara keseluruhan. Hal ini dikuatkan oleh sejumlah komentar atau testimoni pembaca yang sempat berdiskusi langsung dengan saya atau via e-mail, yang menyatakan bahwa umumnya mereka sudah berprasangka buruk terlebih dulu gara-gara judul buku ini.
Nah, setelah membaca seluruh wawancara dalam buku ini, biasanya barulah mereka menangkap pesan yang sesungguhnya. Bahwa buku ini sama sekali tidak hendak mengajak para pembacanya untuk menjadi pembenci sekolah. Sebaliknya, buku ini justru hendak mengingatkan sejumlah hal sebagai berikut ini.
Pertama, sekolah perlu dipandang secara lebih kritis, bukan taken for granted. Artinya, kita semua bisa sepakat bahwa ada banyak hal dalam sistem atau tata persekolahan kita yang perlu dibenahi dan dikembangkan sesuai dengan perubahan masyarakat. Jika kita tidak berbenah, maka ke depan, nasib generasi muda bangsa ini akan menjadi taruhannya. Mengingat persaingan ke depan bukan hanya berkutat di dalam negeri, tetapi sungguh-sungguh sudah tanpa batas alias mengglobal.
Kedua, kita perlu menyadari bahwa gelar dari sekolah saja tidak akan pernah cukup. Gelar tidak akan menjamin lulusan sekolah menjadi orang-orang yang mandiri dan siap berkarya di tengah-tengah masyarakat. Ada bekal lain yang mesti diberikan kepada seluruh anak didik kita, yaitu pentingnya menyemaikan motivasi berprestasi, sifat kemandirian, dan benih-benih kewirausahaan.
Ketiga, kita harus memberikan semangat kepada siapa saja yang bernasib kurang mujur dalam hal pendidikan formalnya. Ada begitu banyak saudara-saudara kita—terutama generasi muda saat ini—yang gagal melanjutkan pendidikannya. Bahkan, menamatkan pendidikan dasar pun tidak mampu, akibat kemiskinan dan berbagai impitan persoalan hidup lainnya. Tetapi, melalui contoh-contoh orang sukses di buku ini, semoga mereka bisa terinspirasi, termotivasi, dan terus bersemangat dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
Keempat, buku ini hendak mengajak kita semua untuk menjadi manusia-manusia pembelajar yang sejati. Sekolah Kehidupan itu begitu kaya dan luas materi “kurikulumnya”. Bahkan, begitu banyak materi bernas yang tidak kita jumpai di dalam gedung sekolah. Jadi, terlalu sayang untuk melewatkan pengalaman-pengalaman berharga dari orang-orang sukses, yang telah berhasil bangkit dari bagian-bagian terpahit dan tergetir dalam kehidupan mereka itu.
Karena hendak menegaskan hal-hal itulah maka buku edisi revisi ini dihadirkan. Semua narasumber pada edisi sebelumnya tetap saya pertahankan, sekalipun sudah banyak perubahan terjadi. Misalnya, ada tokoh yang sudah tidak bernaung di perusahaan yang dulu mereka jadikan mitra usaha, semisal Lim Lie Sia dan Sunarno. Pun ada tokoh yang sudah meninggal dunia, seperti Theresia Widia Soerjaningsih. Namun, saya tetap mempertahankan kehadiran sosok-sosok tersebut dalam buku ini. Mengapa? Karena gagasan-gagasan, visi, dan semangat pembelajaran mereka yang tetap hidup dan berguna bagi kita semua. Selain itu, mereka juga telah menyumbangkan spirit pembelajaran yang tak tergantikan, sekalipun perjalanan hidup mereka mengalami perubahan. Dan kita tahu, perubahan itu pula yang menjadi bagian dari proses pembelajaran hidup kita semua.
Selain itu, sejumlah narasumber baru ditambahkan supaya pembaca semakin yakin dengan spirit yang diusung oleh buku ini. Untuk menguatkan pesan buku ini—bahwa gelar bukan segalanya dan belajar dari pengalaman itu sangat-sangat penting bagi kesuksesan seseorang—maka saya tampilkan wawancara saya dengan tiga narasumber baru, yaitu Mat Zeni, Umi Nursalim, dan Eni Kusuma.
Jika Anda simak nantinya, maka akan tampak betapa ketiga narasumber—yang notabene adalah orang-orang nongelar atau tidak berpendidikan tinggi tersebut—sungguh-sungguh menemukan mutiara dalam diri mereka masing-masing. Mutiara itu berupa semangat pantang menyerah, semangat belajar yang luar biasa, semangat untuk terus mengembangkan diri, dan tentu saja semangat untuk mandiri dengan berwirausaha.
Sementara di bagian akhir, saya tambahkan wawancara saya dengan Andrias Harefa, dan Jennie S. Bev. Keduanya akan mengajak kita berdiskusi secara kritis tentang pemaknaan sekolah, pembelajaran mandiri, pengembangan diri secara terus-menerus, serta masa depan anak didik dihadapkan pada perubahan teknologi yang begitu pesat.
Andrias Harefa tidak sampai menamatkan pendidikan sarjananya, sementara Jennie S. Bev adalah sosok yang menggunakan pendidikan formal hingga menuju jenjang S-3 sebagai bagian dari sistem kesuksesannya. Namun, Anda akan temukan gagasan yang nyaris sama tentang arti pembelajaran yang menyemangati hidup kita.
Nah, saya beberapa kali menemukan cerita yang unik saat bertemu dengan sejumlah orangtua yang mengaku telah membaca edisi sebelumnya buku ini. Mula-mula, mereka khawatir memperlihatkan buku ini kepada anak-anak mereka yang masih duduk di SD, SMP, hingga SMA. Tetapi setelah selesai membaca, dan mengerti betul makna tersirat maupun tersurat dari buku ini, mereka malah cukup yakin untuk membiarkan anak-anaknya membaca.
Bahkan, pada sejumlah testimoni langsung yang saya dapatkan, para orangtua itu justru mendapatkan semacam entry point untuk mendiskusikan masalah sekolah dengan anak-anaknya. Diskusi-diskusi mereka bisa begitu mengalirnya, walau kadang-kadang juga diselingi oleh kekritisan si anak. Karena anak-anak sekarang itu pandai-pandai, maka kadang orangtua pun kewalahan menjawab atau berdebat dengan mereka. Namun hikmahnya, ternyata situasi tadi membuat sejumlah orangtua merasa bersyukur. Mereka menemukan pemicu atau bahan untuk mendiskusikan sekolah dan masa depan anaknya.
Sungguh, hal semacam inilah yang membuat saya bersyukur dan merasa bahwa tujuan buku ini benar-benar bisa tercapai. Semoga, buku ini bisa menjadi bahan pengasah kecerdasan dan komunikasi yang lebih intens dalam keluarga, terutama menyangkut pendidikan anak-anak kita. Terakhir, saya ucapkan selamat membaca dan selamat mendiskusikannya. Sekali lagi, saya mohon maaf kepada sebagian pembaca lainnya yang—sekalipun sudah saya jelaskan maksud penyusunan buku ini—tetap saja kurang berkenan dengan judulnya. Salam!
Sumber : http://ezonwriting.wordpress.com/my-booksresep-cespleng-menulis-buku-bestseller-edisi-revisi/kalau-mau-kaya-ngapain-sekolah-edisi-khusus/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "KALAU MAU KAYA NGAPAIN SEKOLAH EDISI KHUSUS"
Posting Komentar