Mengapa Kita Harus Kaya?

Jika kita melakukan pemikiran dengan keprihatinan yang mendalam, disertai perenungan mengapa masyarakat muslim di dunia rata-rata kurang makmur walaupun negaranya memiliki sumber daya melimpah ruah, kita akan sadar bahwa seharusnya kita menjadi orang yang kaya. Ironinya, bersamaan dengan itu, di negara-negara yang warganya tidak mayoritas Islam, meskipun alamnya tidak kaya, mereka berhasil membangun kemakmuran. Dalam Islam, bekerja mencari nafkah sebanyak-banyaknya adalah ibadah. Jadi jelas, bekerja pasti berpahala besar sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Dengan kelebihan hartanya, seorang muslim akan dapat beramal lebih banyak lagi. Seorang yang mampu secara harta akan mudah melakukan sejumlah ibadah yang membutuhkan biaya besar, ibadah yang tidak akan dapat dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai uang. Namun harus diyakini bahwa kaya dalam pandangan Islam tidak identik dengan kemewahan, sebaliknya kaya itu identik dengan infaq dan shadaqah. Maka orang yang bermegah-megahan belum tentu dia adalah orang kaya, sebab orang yang pas-pasanpun bisa berbuat demikian. Ketika genderang jihad mulai diproklamirkan dalam Islam, maka ahlu dutsur (orang-orang kaya) dari kalangan sahabat semakin proaktif memelihara dan mengembang kan hartanya. Mereka bersiap-siap jika sewaktu-waktu ada panggilan jihad yang membutuhkan perlengkapan senjata dan perbekalan makanan serta membutuhkan banyak biaya, kaum muslimin tidak kerepotan. Contoh nyata bagaimana pengorbanan harta para sahabat dalam menghadapi jihad terlihat menjelang terjadinya perang Tabuk. Kala itu tahun 9 Hijriyah, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat yang kaya supaya menyediakan perbekalan bagi para sahabat yang tidak mampu. Maka bersegera para sahabat menyambut seruan jihad maali Nabi SAW. Sahabat Abu Bakar ra mendermakan seluruh hartanya, Umar bin Khattab ra mendermakan sebahagian miliknya, Utsman bin Affan ra mengeluarkan harta sebanyak 10.000 dinar ditambah 300 ekor kuda lengkap dengan perbekalannya serta 50 ekor kuda, Abdurrahman bin ‘Auf ra mendermakan 100 uqiyyah emas, sahabat Al-Abbar ra dan Thalhah ra mendermakan hartanya yang jumlahnya cukup banyak, Ashim bin Adiy ra menyedekahkan 70 wasaq kurma. Demikian pula sahabat-sahabat yang lain, mereka berbuat serupa. Bahkan para sahabiyah juga tidak ketinggalan, mereka memberikan berbagai perhiasan pribadinya. Inilah potret sebahagian kecil para sahabat Rasulullah SAW yang memadukan antara dakwah dan kerja, sampai-sampai Umar bin Khattab ra mengatakan bahwa di pasar adalah tempat yang lebih ia senangi apabila kematian menjemputnya, setelah kematian di medan jihad. Oleh karena itu, mengutamakan salah satunya dan menafikan yang lainnya tidak dibenarkan dalam Islam. Mari kita renungkan hikmah atas peristiwa berikut. Ada seorang sahabat yang senantiasa beribadah dan berzikir terus menerus didalam mesjid. Sahabat ahli ibadah ini tidak bekerja. Seluruh kebutuhan makan minumnya dicukupi oleh saudara-saudaranya. Menjumpai hal demikian, Nabi SAW menjelaskan bahwa kedudukan saudaranya itu, jauh lebih mulia ketimbang yang beribadah terus menerus tanpa bekerja. Saudaraku sekalian, bagaimana anda memahami firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya”.(Ash-Shaaf:10-11) Jika kita renungkan, ada makna tersirat –sebenarnya juga tersurat- dari ayat diatas yang sering terabaikan. Ketika Allah SWT mengatakan dengan harta berarti kaum muslimin dituntut untuk kuat secara finansial. Demikian pula, ketika Allah menyatakan dan jiwa berarti kaum muslimin dituntut secara jasmani dan rohani nya. Boleh jadi aspek kedua lebih sering mendapat perhatian dari kaum muslimin sekarang, sementara aspek pertama yaitu tentang kekuatan finansial, masih kurang mendapat perhatian. Padahal sejarah membuktikan bahwa tidak ada satu peperanganpun kecuali pasti menghabiskan biaya yang sangat besar. Sungguh, tidak ada kaitannya kesederhanaan dan kesombongan dengan jumlah kepemilikan harta. Banyak karunia Allah yang menyiratkan bahwa kekayaan bukanlah mustahil dan kekayaan itu bukanlah semata-mata kaya harta. Masih menurut Aa Gym –dan saya setuju dengan pendapat beliau ini- bahwa kaya bisa berupa kaya ilmu, kaya ikhtiar, kaya hati dan sebagainya. Allah memberikan banyak pelajaran bagi kita dengan adanya fenomena sukses di dunia ini. Lihatlah bangsa Cina yang begitu kuat karena keberhasilan mereka dalam bisnis, hingga menyebar ke seluruh dunia. Lihat juga bagaimana bangsa Jepang dan Korea yang meraih kejayaan dengan etos kerja yang luar biasa. Saatnya kita berfikir bersama bagaimana membangun dakwah beriringan dengan membangun ekonomi. Kenyataannya dakwah, sejak dimulakannya di masa Rasul hingga sekarang, selalu membutuhkan biaya. Kekuatan ekonomi membuat kita tidak banyak bergantung pada pihak lain atau sesama manusia, karena gantungan kita yang tertinggi hanya kepada Allah. Sedangkan manusia hanya menjadi jalan datangnya pertolongan Allah. Kekuatan ekonomi ini harus selalu dibarengi dengan kekuatan ilmu dan kekuatan akhlak. Sebagaimana kata Aa Gym “Saya tidak Ingin Kaya, tapi Saya Harus Kaya” Sumber : http://zazaparfum.com/?p=84

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Mengapa Kita Harus Kaya?"

Posting Komentar