Ilusi Naik Gaji

Bulan Maret ini, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan anggota Tentara Nasional Indonesia akan menerima kenaikan gaji yang dihitung sejak Januari. Berkah seperti ini, pada umumnya, tentu dialami juga oleh para karyawan swasta.

Ketika mengalami kenaikan gaji (atau kesempatan memegang dana lebih banyak dari biasa), kita kerap merasa daya beli kita naik. Kesejahteraan kita pun seolah meningkat.

Namun, pernahkah terlintas pertanyaan: Apakah benar nilai uang yang kita miliki lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya?

Mari buat perumpamaan sederhana. Misalnya dengan gaji tahun lalu yang Rp 2,5 juta per bulan, kita bisa membeli 20 kemeja dengan harga setiap potongnya sebesar Rp 100 ribu dan menabungkan Rp 500 ribu sisanya. Asumsikan kenaikan gaji 10 persen, menjadi Rp 2,75 juta. Mungkinkah masih bernilai sama?

Lazimnya, kenaikan harga barang selalu lebih tinggi dari kenaikan gaji secara umum. Gaji hanya mengikuti inflasi, plus bonus (tidak permanen) jika memang ada. Sementara harga barang dipengaruhi oleh inflasi dan ekspektasi permintaan — tentu saja selain ongkos produksi.

Produsen akan memikirkan bahwa ekspektasi permintaan barang (seperti kemeja) akan tinggi, mengingat pendapatan masyarakat yang secara nominal naik. Karena itu, mereka biasanya akan menaikkan harga. Bisa juga ditambah dengan ekspektasi kenaikan ongkos produksi akibat kenaikan komponennya, semisal rencana kenaikan harga bensin dan tarif dasar listrik seperti yang terjadi sekarang.

Karena itu, bukan mustahil walau gaji naik, kita justru tidak lagi mampu membeli 20 kemeja seperti sebelumnya. Kejadian seperti ini sering terjadi lantaran pola kenaikan gaji yang hampir rutin terjadi setiap awal tahun.

Pengumuman kenaikan gaji PNS dan anggota TNI — serta kemungkinan pertambahan ongkos produksi — telah membuat produsen ataupun penjual memperkirakan harga-harga akan meningkat akibat inflasi. Akibatnya, mereka pun ikut menaikkan harga jual yang justru menyumbang terhadap laju inflasi.

Celakanya, banyak pegawai (penerima gaji rutin) yang kurang cermat terhadap situasi ini. Mereka cenderung beranggapan, pendapatan riilnya meningkat, sehingga dapat mengonsumsi barang dalam jumlah lebih banyak.

Alhasil di akhir-akhir bulan dampaknya baru terasa. Persediaan uang yang dimilikinya justru semakin menipis padahal gaji yang diterimanya sudah lebih besar secara nominal.

Tak perlu berprofesi sebagai pengamat ekonomi untuk menyadari dan bisa membedakan mana yang dimaksud upah atau gaji nominal serta mana yang disebut dengan upah atau gaji riil. Gaji nominal adalah gaji yang secara umum kita pahami karena gaji dalam bentuk nominal, misalnya rupiah yang kita terima setiap bulan dari perusahaan atau institusi tempat bekerja.

Sedangkan gaji riil, besarannya diukur oleh kemampuannya jika ditukar dengan suatu barang. Misalnya dalam ilustrasi gaji dan kemeja tadi. Dengan kenaikan gaji 10 persen menjadi Rp 2,75 juta, sementara harga pakaian naik menjadi Rp 125 ribu, maka kita hanya mampu membeli 20 potong pakaian namun sisa uang yang bisa ditabung jadi Rp 250 ribu.

Agar lebih nyata, silakan ganti permisalan kemeja ini dengan kebutuhan pokok sehari-hari. Manfaat dari mengetahui perbedaan gaji nominal dan riil ini agar lebih bijak menyikapi kenaikan pendapatan rutin. Sehingga, arus kas pribadi atau rumah tangga tetap sehat dan berjalan baik.

Dan yang paling penting, jangan sampai kenaikan besar gaji justru menyebabkan arus kas pribadi ataupun keluarga Anda menjadi negatif alias besar pasak dari pada tiang.

Mari sama-sama hitung gaji riil — bukan nominal. Apakah terjadi peningkatan atau malah terjadi penurunan? Jangan sampai rugi bandar di akhir bulan nanti.

Penulis :
Herry Gunawan adalah mantan wartawan dan konsultan, kini sebagai penulis dan pendiri situs inspiratif: http://plasadana.com

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Ilusi Naik Gaji"

Posting Komentar