Bijak Menyikapi Utang Properti

Seorang teman berencana mengambil kredit untuk rumah pertamanya. Sejatinya, dia punya kemampuan membayar cicilan dengan jangka waktu 10 tahun. Tapi maunya malah 15 tahun. “Kalau bisa sih lebih dari itu,” tuturnya.

Alasan yang disampaikan,
karena kredit properti itu termasuk utang yang baik, seperti didengar selama ini.  Dalilnya, kenaikan nilai aset selalu lebih tinggi dibandingkan suku bunga pinjaman ataupun inflasi.

Tentu asumsi itu tidak salah. Namun hati-hati, bisa melenakan.

Sekadar ilustrasi, katakanlah suku bunga pinjaman rata-rata 10 persen per tahun. Dengan asumsi kenaikan harga 15 persen, berarti ada selisih 5 persen. Rasio kenaikan harga terhadap suku bunga masih positif.

Dengan lain kata, sekiranya dalam situasi terburuk tak mampu melanjutkan kredit, rumah bisa dijual. Dengan rasio kenaikan yang positif itu, tentu ketika rumah dijual daya bayar masih kuat plus ada sisa.

Begitulah kira-kira alur pemikirannya. Ada juga yang membandingkan kenaikan harga dengan inflasi, sehingga rasio positifnya lebih besar.

Dengan cara berpikir seperti ini, masih ada marjin antara kenaikan harga dengan suku bunga, sepanjang masa kredit berarti ada akumulasi keuntungan. Logika sederhananya, semakin lama jangka waktu kredit, semakin besar pula tingkat keuntungan yang bisa diperoleh. Sebaiknya jangan dulu terlena. Ada beberapa hal yang masih perlu dipertimbangkan.

Pertama, bunga kredit yang kita bayar, makin lama tenornya maka makin besar nilainya. Apalagi, suku bunga tidak bisa kita kontrol, karena tergantung kondisi eksternal yang mempengaruhinya.

Seperti sekarang, suku bunga acuan bank Indonesia naik akibat kurs rupiah melemah terhadap dolar. Kebijakan ini jelas memacu kenaikan bunga pinjaman bertambah. Ini berarti bulanan yang harus dibayar lebih mahal dari sebelumnya. Belum tentu pendapatan kita bisa mengimbangi.

Kedua, dalam hitungan imbal hasil atau return - jika melihat properti yang dibeli dalam sudut pandang investasi -, sebenarnya semakin lama waktu yang dimanfaatkan, semakin kecil pula nilai imbalannya. Sebab imbal hasil sangat bergantung pada rentang waktu. Makin lama, imbal hasilnya menurun.

Ketiga, terkait dengan inflasi atau laju kenaikan harga. Semakin tinggi inflasi, maka makin besar pula daya beli uang kita untuk membeli properti. Saat propertinya dijual dengan harga yang naik, kemampuan dananya membeli properti baru pun ikut terbatas. Begitupun dengan kurun waktu yang lama, maka besaran inflasi ikut terakumulasi.

Untuk itu, pertimbangan adanya utang yang baik dalam konteks properti sebaiknya dikritisi. Sebab pada dasarnya, utang adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Tentu saja hal itu akan mengurangi jatah tabungan dan konsumsi.

Namun kita juga menyadari bahwa membeli rumah dengan harganya yang memang mahal, hanya segelintir orang yang mampu. Sebagian besar akan sulit melakukannya.

Dengan pertimbangan di atas, mestinya cara berpikir yang digunakan adalah semakin cepat jangka waktu kredit yang mampu kita jalani, maka semakin baik. Kalau mengikuti “logika hiburan” seperti teman saya itu bahwa rasio kenaikan harga terhadap suku bunga masih positif, bisa membuat terlena.

Paparan yang disampaikan ini dalam konteks rumah atau properti untuk kebutuhan pribadi, bukan investasi. Sebab, jika untuk investasi, cukup logis kalau dalam kurun waktu tiga tahun sudah ada keuntungan – walaupun dibeli lewat kredit yang belum lunas – langsung dijual. Namanya juga bisnis, makin cepat untung tentu makin baik.

Tapi bagi properti pribadi, tetaplah berpikir bahwa utang adalah “makhluk” yang harus segera disingkirkan. Kalau sekiranya mampu kredit dalam kurun waktu 10 tahun misalnya, jangan paksakan 20 tahun lantaran kena bujuk tenaga pemasar yang mengatakan makin lama kredit makin untung.

Telitilah sebelum ambil utang.



Herry Gunawan, pendiri Plasadana.com
http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/bijak-menyikapi-utang-properti-095115258.html

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Bijak Menyikapi Utang Properti"

Posting Komentar