Sosok Andrie Wongso

“Kemelaratan bukan untuk disesali dan diratapi semata. Kenangan masa kecil, tidak untuk menyakiti kita, tetapi untuk membangunkan sebuah pengertian bahwa nasib bisa dirubah”.

(Lenny Wongso)

Menjadi orang susah bukanlah dambaan dan impian semua orang, saya dan anda, kita semuanya, tentunya tidak mau dengan kehidupan susah untuk selama-lamanya. Tapi apa jadinya jika kita terlahir menjadi orang susah, terlahir dari rahim orang susah, tumbuh dan dibesarkan di lingkungan orang susah, dengan kehidupan yang melarat, apakah kita harus menyesalinya, apakah kita harus menghakimi Tuhan atas kodrat yang diberikan kepada kita menjadi orang susah tanpa mau berjuang merubahnya?

Atau malah sebaliknya, menjadi orang susah adalah sebuah kebanggaan yang agung, yang diidam-idamkan, yang pantas dipertontonkan dandipertunjukkan, dipanggung sandiwarakan ke khalayak ramai dan berdiam diri tanpa mau mengubahnya, dan berkata ke penjuru dunia bahwa inilah aku, Orang Susah?.

Hm…mari merenung sejenak, dan mulai menghayati kehidupan sosok yang luar biasa yang satu ini, sosok yang saya kagumi, sosok yang pantas anda kagumi dan bagi siapapun yang belum mengenalnya dan maupun yang telah mengenalnya, teman satu ranjangnya pun yang setia sangat mengaguminya. Sosok ini memang pantas berada direlung hati kita yang paling dalam.

***

Perjalanan hidupnya dimulai lima puluh empat tahun yang silam di sebuah kota kecil di Malang, sempat terlunta-lunta selama sembilan bulan di dalam rahim sang bunda, waktu yang tepat datang sudah, terlahir ke dunia ini untuk pertama kalinya dengan suara tangisan menyertainya, air mata secuil dan tangisan pertanda perjuangan hidup segera dimulai, roda kehidupan akan segera bergulir, akan segera berputar.

Tangisan pertama tapi bukan terakhir yang dilakukannya akan kefanaan dunia ini, isakan reflektif akan pahit-getirnya, keras-kejamnya dunia ini untuk sebuah nafas dan darah kehidupan, yang tak sengaja telah mengalir di dalam badan dan jiwanya, nafas dan darah yang dulu, nafas dan darah yang diperjuangkannya yang masih melekat sampai sekarang.

Dilahirkan pada tahun 1954 dari seorang ibu yang penuh kasih dan ayah “nahkoda” yang baik dan cerdas, Andrie Wongso hadir ke dunia ini menjadi adek untuk abangnya yang semata wayang dan menjadi seorang abang untuk seorang adek. Tak salah lagi Andrie anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki, terlahir dari keluarga yang tidak mampu, keluarga susah dengan kehidupan yang pas-pasan, serba kesulitan, untuk tempat tinggal saja harus sewa dan kontrak.

Seperti itulah kehidupan Andrie pada awalnya, masa kecil yang suram menjadi santapan lezatnya, yang tidak bisa dinikmati secara sempurna karena harus ikut membanting tulang membantu menjalankan roda ekonomi keluarga. Sebuah penderitaan juga sekaligus tanggung jawab.

Penderitaan itu bukannya semakin berkurang dengan tambahnya usia tapi semakin bertambah ketika Andrie harus kehilangan hak yang seharusnya bisa dinikmatinya seutuhnya dengan penuh penghayatan, yaitu sekolah. Andrie adalah salah satu korban tak berdosa yang kehilangan haknya akibat gejolak gerakan pemberontakan Gestapu PKI, yang mengharuskan Sekolah Mandarin tempat Andrie belajar menuntut ilmu ditutup.

Karena ketidakmampuan ekonomi keluarga untuk memindahkannya, Andrie harus berhenti sekolah. Itulah sebabnya Andrie hanya mengenyam pelajaran sekolah hanya sampai kelas enam SD saja, itupun tidak mendapatkan satu ijajah pun, SDTT(Sekolah Dasar Tidak Tamat), gelar yang disandingnya, selain itu tidak ada lagi, betapa menyedihkan sekali.

Sadar akan dirinya yang tidak mengenyam pendidikan formal, tentunya bukanlah hal yang gampang untuk memulai sebuah usaha, berkiprah di lingkungan pergaulan atau menerjuni bisnis apapun. Tapi hal itu tidak membuat semangatnya kendur untuk belajar, berjuang mengembangkan diri dengan segera dan sebanyak-banyaknya, seakan berlomba mengejar waktu, mengejar ketertinggalan pengetahuan yang seharusnya dicicipinya dulu, semuanya itu tidak pernah dilepaskan dan tidak pernah luput untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dengan membaca buku di setiap kesempatan.

Roda kehidupan yang tidak pernah berhenti untuk terus berputar, kini telah mendewasakan Andrie, memaksa Andrie harus meninggalkan kota kelahiran tercinta untuk mencari peraduan nasib yang layak ke Ibukota negeri tercinta ini. Peraduan yang kedua, setelah yang pertama gagal dan hanya isapan jempol semata untuk membintangi sebuah film di negri ini yang pernah diiming-imingi oleh seseorang.

Peraduan kedua yang beda dari sebelumnya dimulai pada awal Januari 1979 sebagai salesman bahan-bahan listrik dan kabel-kabel di Pasar Kenari Jakarta. Pekerjaan yang cukup berat karena selain mengepak produk, Andrie pun harus mengantar dan dan mengangkat barang pelanggan tersebut ke kendaraan si pelanggan, hal ini dikerjakannya dengan kepala tegak, tetapi hanya mampu mendapatkan penghasilan Rp.3000/bulannya untuk saat itu, jumlah yang sedikit karena harus dipotong lagi cicilan ini-itu, dan Andrie pun harus menyisihkan sisanya untuk uang kiriman ke kampung halaman. Hal yang membuat hati kecilnya menjerit, bahwa itu bukan pekerjaannya, itu hanya untuk sementara.

Satu tahun berikutnya Andrie mencanangkan tekad bulat melamar sebagai bintang film untuk kedua kalinya, walaupun pernah mengalami kegagalan, tetapi embrio keinginan untuk menjadi seorang bintang film tenar seperti Bruce Lee masih melekat erat di dalam benaknya, kali ini bukan di negeri sendiri yang dibidiknya, tetapi menjadi bintang film di Hong-Kong. Dan untuk pertama sekali Andrie di terima bekerja di Eternal Film Hong-Kong dengan kontrak selama tiga tahun.

Meskipun sang Bos mengakui bahwa Andrie diterima bukan karena kemampuan bela diri yang dimilikinya untuk bermain di film tersebut, tetapi kesempatan itu diberikan kepadanya lebih karena menghargai kemauan dan tekad kuatnya berjuang dan belajar menjadi seorang bintang film, tanpa memperhatikan nilai kontrak yang relatif kecil, tanpa memperdulikan resiko apapun yang dihadapinya. Sebuah keputusan besar yang diambil Andrie yang menghasilkan sebuah perubahan besar di dalam kehidupannya.

Perubahan besar yang mengantarkannya bisa menjadi seperti saat ini, berkat perjalanan hidupnya yang getir, yang pernah dihadapinya dan dilaluinya menjadi sebuah nafas panjang yang mampu meningkatkan mental seseorang, memberikan pencerahan baru, membakar semangat hidup dan menjadi motivasi hidup bagi mereka yang mendengar, meresapi,menghayatinya serta melakukannya.

***

Sumber : “Andrie Wongso, Sang Pembelajar”, Penulis Lenny Wongso, Penerbit AW Publishing.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sosok Andrie Wongso"

Posting Komentar