Mimpi yang terlalu tinggi akan membuat sakit jika tak terwujud. Demikian tulis seorang teman di wall Facebook. Sekilas, perkataan demikian benar dinalar. Tapi, seketika itu muncul pertanyaan di benak: bagaimana jadinya hidup tanpa mimpi?
Tanpa sebuah impian, rasanya sulit mengimajinasikan masa depan. Sementara, imajinasi tentang hari esok adalah penting. Paling tidak, kita memiliki peta imajiner dalam menjalani masa mendatang.
Terkait mimpi, ada dua golongan manusia di dunia ini. Pertama, manusia yang takut bermimpi. Ialah orang-orang yang tak lagi percaya bahwa mimpi adalah pengejawantahan atas keinginan kuat dalam diri untuk menjadi (to be) sesuatu. Mereka tak lagi merumuskan mimpi, hanya karena takut hal itu justru akan menambah daftar kegagalan. Sekalipun bermimpi, itupun biasanya impian ecek-ecek atau keinginan serba biasa. Agar, jika tidak terwujud, pula sakitnya tidak seberapa.
Kedua, golongan orang yang tidak takut dikecewakan mimpi. Ialah orang yang mempunyai mimpi besar. Mereka akan bersedia menjadi petarung-petarung untuk menaklukkan mimpi menjadi nyata. Jika tidak memperjuangkan mimpi, orang-orang macam ini akan menyesal di kemudian hari. Karenanya para pemimpi akan melakukan (to be) hal-hal yang bisa mengantarkan keinginan menjelma nyata.
Secara psikologis, mimpi mempunyai beberapa fungsi. Pertama, mimpi sebagai petunjuk arah. Cita-cita, misalnya, akan menuntun seseorang melakukan sesuatu yang berkontribusi mewujudkan tujuannya. Kedua, mimpi menambah nilai pekerjaan. Tanpa keinginan lebih, seseorang cenderung akan mengerjakan hal-hal minimal. Ia kurang mampu mengoptimalkan potensi diri.
Ketiga, mimpi memberi kekuatan. Ingat tag line sebuah perusahaan otomotif besar kelas dunia: The Power of Dream? Soichiro Honda, pemuda asal Jepang, telah membuktikan bahwa mimpi memberi kekuatan luar biasa. Bagaimana tidak? Sementara ia hanya anak seorang montir sepeda, tapi bercita-cita menjadi mekanik andal. Jadilah mesin Honda yang sekarang bisa dibilang merajai pasar Otomotif.
Keempat, mimpi membantu menentukan prioritas. Seorang pemimpi akan lebih memprioritaskan pekerjaan yang berkaitan dengan impiannya. Kelima, mimpi mampu meramal masa depan. Bill Gates, konglomerat kelas dunia yang memiliki perusahaan perangkat lunak Microsoft mampu meramal dunia saat ini berdasarkan impiannya pada tahun 1977. Saat itu, computer masih berukuran 8 kali besar lemari es. Sungguh memakan banyak tempat dan sulit dipindahkan. Ia bermimpi, 30 tahun mendatang semua rumah akan memiliki komputer dan orang-orang tersambung satu sama lain.
Impian Gates bukan bualan! Nyatanya, sekarang ini komputer berukuran kecil, bahkan bisa digendong ke sana kemari seperti laptop. Dan jaringan internet telah menghubungkan manusia seolah tanpa sekat. Dengan ini Gates seolah menegaskan, kehidupan masa kini adalah hasil dari mimpi masa lalu. Maka, bisa dikatakan bahwa masa depan kita adalah mimpi kita saat ini.
Keenam, mimpi adalah alat ukur keberhasilan. Mengapa? Naluri manusia sering membandingkan mimpinya dengan kenyataan. Maka tak jarang orang mengevaluasi tingkat keberhasilan berdasar mimpi yang dirintis sejak awal.
Kita terlalu besar untuk mempunyai mimpi kecil dan serba biasa. Pun kita terlalu besar untuk dikecewakan oleh mimpi kecil. Mari bermimpi besar. Dream will come true. Bravo!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "IMPIAN"
Posting Komentar